Anywhere there is life, there are eyes. And things, too, speak to those who have ears to hear.
― Eiji Yoshikawa: Taiko
“Ini istananya Hideyoshi Toyotomi?” Aku kagum melihat istana besar yang selama ini hanya ada dalam benak, dari buku-buku yang kubaca. Hideyoshi Toyotomi kukenal dari buku Taiko karya Eiji Yoshikawa yang beberapa tahun yang lalu menemani perjalananku ke kantor. Taiko mengisahkan perjalanan seorang pengantar sandal, hingga menjadi seorang panglima besar kerajaan Jepang di tahun 1586. Buku ini menjadi salah satu buku yang mempengaruhi hidupku tentang nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Dalam buku Taiko dikisahkan tentang Jepang pada abad ke-16, ketika keshogunan tercerai berai. Hideyoshi yang lahir sebagai anak petani, datang sebagai abdi Oda Nobunaga seorang daimyo di provinsi Owari, mempelajari sekitar dan memohon kesempatan bertempur sehingga akhirnya ia bisa menjadi salah satu pelindung Kaisar. Dengan kesetiaannya yang tinggi akhirnya ia mendapatkan kepercayaan untuk memerintah di satu propinsi, dan berlanjut dengan penaklukan daerah-daerah lain di Jepang hingga akhirnya ia menjadi seorang Taiko, yang berkedudukan di Osaka dan mendirikan istana di bekas kuil Ishiyama Honganji. Dengan sentral pada istana, penduduk yang sudah bermukim sejak lokasi ini menjadi kuil, makin meluas dan menjadi cikal bakal kota. Sebelum pusat pemerintahan dipindahkan ke Edo, Osaka menjadi pusat pemerintahan Jepang karena tempatnya yang strategis di tepi lautan sebagai pusat ekonomi dan transportasi.
sejarah dalam osaka castle
Osaka Castle atau istana Osaka adalah destinasi pertama yang dikunjungi aku dan Windu setibanya kami di sana. Dengan waktu setengah hari dan belum bisa check in, maka kami berdua memilih naik kereta ke istana ini, yang ternyata agak cukup jauh dari stasiun subway Tanimachi, dan bonus jalan kaki yang agak lumayan juga dari gerbang hingga istananya.
Dengan tiket masuk seharga 600 yen, kami masuk ke area istana setinggi delapan level yang kini difungsikan sebagai museum. Sesudah kematian Oda Nobunaga, Hideyoshi Toyotomi sebagai mengambil alih peran politik dan memulai pembangunan istana pada tahun 1583. Bangunan ini dimaksudkan sebagai tempat tinggal sebagai pimpinan Jepang walau ia lebih banyak berada di Kyoto. Sesudah kematiannya, istana ini diperebutkan oleh klan Tokugawa dan jatuh pada Summer War Osaka di tahun 1615.
Sesudah masa restorasi Meiji, Istana Osaka dan sekelilingnya dipergunakan sepagai pangkalan tentara. Menara utama kembali direkonstruksi pada tahun 1931 dan akhirnya masuk pada Registered Cultural Properties of Japan pada tahun 1997. Area di seputar istana yang hancur karena perang dunia ke-2 pun direstorasi menjadi historical site park.
Setiap level bangunan tidak terlalu luas, namun ada petunjuk untuk mengelilingi satu alur untuk mengikuti cerita tentang sejarah Hideyoshi Toyotomi, sang Taiko. Beberapa ruangan bahkan mengeluarkan aturan dilarang memotret, sehingga tidak bisa merekam gambar di situ. Berbagai cerita sejarah, mulai dari rumah masa kecil, hingga pakaian kebesaran dan senjata ditampilkan di sini.
Satu bagian menarik ada di level 5 yaitu miniatur dari “Summer War of Osaka” yang ditampilkan dengan banyak boneka mini dengan berbagai adegan peperangan. Adegan peperangan ini dilukiskan begitu detail, lengkap dengan panji-panji, pengendara kuda dan tombak-tombak. Aku membayangkan adegan-adegan pertempuran yang kubaca di buku Taiko ini terlukiskan di sini. Ratusan, bahkan ribuan prajurit dan samurai termasuk panglimanya turun ke medan perang menjalankan strategi tempur.
Dalam pertempuran musim dingin Osaka tahun 1614, Tokugawa Ieyasu yang sebelumnya menjadi sekutu, memimpin serangan besar menyerbu Hideyori Toyotomi, anak Hideyoshi, yang hanya mampu bertahan dalam istana Osaka. Di musim panas berikutnya, kembali Ieyasu mengirim lagi pasukannya dan meruntuhkan istana. Hideyori melakukan seppuku atas kekalahannya ini.
Di level tujuh juga ditampilkan diorama dari kehidupan Hideyoshi Toyotomi berupa hologram hidup yang bergerak pada maket-maket rumah yang ada di dalam kotak kaca. Menarik sekali mengamati hal ini dari satu kotak kaca ke kotak kaca yang lain, mulai dari rumah sederhana hingga berdirinya istana. Titik puncak dari bangunan ini adalah level delapan, berupa panoramic view ke segala arah dari teras dengan ketinggian 50 m dari tanah. Dari sini bisa dilihat lansekap Osaka dari kejauhan, termasuk taman luas di area istana yang tradisional, dan bangunan-bangunan tinggi modern yang memenuhi pandangan.
Karena sudah sore, tidak semua bangunan di sekitar bisa dimasuki. Sebagian kompleks ini dilindungi oleh dinding tinggi terbuat dari batu super besar dan kokoh. Benteng batu ini menjadi batas pertahanan terhadap istana bagian dalam. Sebagian lain dilindungi dengan parit besar dan dalam (uchibori), dengan jembatan hanya di satu tempat di belakang istana, Gokuraku Bridge.
Keluar melalui Sakura Gate, langkah kaki dilanjutkan menuju Hokoku Shrine (foto 1&2), kuil tempat berdoa. Rupanya banyak juga orang Jepang yang mampir ke sini dan ikut mendoakan. Kami juga melewati Shudokan (foto 3) yang terlihat seperti balai latihan pengawal kerajaan, dan saat kami lewat sedang ada latihan karate di dalamnya. Karena sudah sore, beberapa taman cantik seperti Nishinomaru Garden tidak lagi bisa dimasuki.
Melanjutkan perjalanan melalui Ota Gate yang merupakan gerbang terluar di atas parit besar pelindung lapis kedua (sotobori) terhadap Istana Osaka. Dinding-dinding kanal terlihat curam dan licin, dan sepertinya hanya kenekatan saja yang bisa melalui kanal dalam itu dan memanjat dinding. Aku berbincang dengan Windu, pasti jalan itu cuma bisa dilewati oleh ninja, sambil membayangkan adegan ninja memanjat dinding benteng seperti di film-film. Kami beristirahat sore di taman depannya, sebelum kembali ke stasiun.
tennoji nan modern
Dengan kereta bawah tanah kami menuju Tennoji, satu distrik di Osaka yang di masa lalu adalah salah satu daerah barrier terhadap kota Osaka. Sebenarnya tujuan kami ke Shitennoji Shrine, salah satu kuil di kawasan itu. Tapi karena sudah gelap, ternyata tempat ini sudah tutup dan kami hanya menemukan sisi depannya dengan berbagai patung-patung. Jadi aku dan Windu menyusur jalan-jalan di Tennoji, bertemu dengan orang-orang Jepang yang baru pulang bekerja, berjalan dengan sedikit santai. Mungkin selama ini yang ada dalam pikiranku adalah orang-orang Jepang yang selalu berjalan cepat, namun ternyata nggak juga, tuh.
Pada jalur pedestrian ini jamak bertemu dengan tangga keluar dari stasiun bawah tanah. Rupanya memang ada jalur berlapis lagi di bawah jalan yang aku pijak ini. Pastinya terdapat jalur subway di dalam sana dan jalur pejalan kaki menuju tempat perhentiannya. Yang unik, banyak tempat parkir sepeda di dekat akses ke subway tersebut. Rupanya orang-orang ini memakai sepeda dari rumah ke stasiun dan diparkir di dekat situ. Sebenarnya juga ada beberapa tempat sepeda gratis yang bisa digunakan dari satu area parkir ke area parkir yang lain.
Tepat di depan stasiun Tennoji, cukup ramai dengan orang berlalu lalang dan mobil-mobil lewat. Di kejauhan aku melihat struktur jembatan penyeberangan yang cantik. Sepertinya bangunan ini menghubungkan antara dua mal di kiri dan kanannya. Membentang dengan tumpuan kolom-kolom di bawahnya, jembatan ini dinaungi oleh atap alumunium komposit yang menyerupai daun yang menggeliat. Rangka besi berbentuk V menopang atap-atap tersebut.
Di dalam stasiun sendiri yang berukuran cukup besar dan lapang, rupanya banyak sekali orang di sini. Pasti karena ini memang sudah jam pulang kantor sehingga aneka tipe manusia Jepang nampak, mulai dari pekerja kantoran hingga anak sekolah yang terlihat masih mengenakan seragam.
Sesudah membeli karcis lewat mesin otomatis, kami melewati gate elektronik dan masuk ke kereta yang masuk jaringan JR (Japan Rail). Keretanya tak jauh beda dengan KRL di Indonesia (yang memang diimpor dari Jepang), dan melewati jalur bawah tanah terus hingga ke stasiun Namba.
hura-hura dotonbori
Nah, kemudian masalahnya mulai. Baik aku dan Windu belum mengunduh peta Osaka sekitar Dotonbori – Namba, sehingga ketika keluar dari stasiun tidak tahu harus berjalan ke arah mana. Aku hanya memelototi peta periplus yang kupunya, sambil berusaha berorientasi kira-kira jalan ke mana yang harus kami ambil, mengingat di depan kami ada perlimaan ke berbagai arah.
Akhirnya mengikuti insting yang kuat (karena jalanan pun sudah cukup sepi) kami berjalan ke arah kanan dan terus, akhirnya menemukan ujung lain dari stasiun Namba. Memang area stasiun ini cukup besar, karena mengintegrasikan berbagai moda angkutan umum, tak hanya satu macam kereta bawah tanah, namun beberapa macam dan juga ditambah dengan kereta di jalan layang di atas. Coba bayangkan berapa lapis kehidupan di jalan raya Osaka ini.
Lorong-lorong Dotonbori tampak lebih ramai daripada ketika kulewati siang tadi. Aneka penjual makanan menjajakan dagangannya sambil berseru-seru riang. Aku dan Windu memilih satu restoran yang menjual okonomiyaki, satu bentuk makanan khas Jepang mirip dengan telur dadar tebal dan berisi aneka bumbu dan cumi. Nyaman sekali rasanya mengisi perut sesudah berputar tak tentu arah tadi.
Tentu saja okonomiyaki saja tak cukup. Gara-gara terlalu sering baca komik Jepang yang tokohnya selalu beli takoyaki di depan stasiun, jadilah kami menyambangi satu kios takoyaki yang berjualan dengan pan super besar, yang sekali masak bisa hingga 64 bola-bola takoyaki. Huwow! Aku memesan delapan takoyaki yang dicemil di tengah hingar bingar Dotonbori yang asyik.
Dotonbori ini semacam pusat keramaian dengan aneka toko dan restoran yang menjual aneka macam barang dan makanan. Karena tidak boleh dilewati mobil, maka pejalan kaki maupun sepeda bisa melenggang dengan santai sambil melihat kanan dan kiri. Dari mulai toko kaos kaki, toko pernik pernik, toko oleh-oleh (yang bisa beli KitKat aneka rasa), dan terutama juga tukang takoyaki incaranku. Aneka toko satu harga, toko obat, gerai pakaian yang merknya terkenal di Indonesia, mudah ditemukan di kawasan ini. Oh iya, Takashimaya, mall yang terkenal di Singapura itu, di sini adalah mall ramai yang menyatu dengan stasiun Namba, tak jauh dari Dotonbori.
Untuk kembali ke hotel tempat kami tinggal, kami harus melintasi jembatan di atas sungai yang indah di balik Dotonbori. Sungai yang tidak seberapa lebar ini sangat bersih dengan beberapa jembatan kayu yang melintas di atasnya. Beberapa restoran yang bermuka dua memiliki area duduk-duduk juga menghadap ke sungai, sementara sisi lainnya menghadap jalan. Beberapa toko malah menyengajakan juga memiliki dua pintu keluar, ke jalan dan ke bantaran tepi sungai.
Pantulan bangunan-bangunan berlampu ini berkilau indah di sungai, menjadikan pemandangan ini rasanya romantis dan enggan pulang. Banyak sekali kaum muda mudi Jepang yang menghabiskan waktu dari Dotonbori hingga tepi sungai ini. Jembatan kayu yang melintasi atas sungai pun menjadi tempat parkir sepeda.
melewati siang di osaka
Apa dengan segala keramaian di malam hari membuat kawasan ini berantakan? Tidak! Dotonbori sudah rapi lagi di pagi hari, tak nampak sampah berserakan atau tumpahan minyak dari gorengan semalam. Suasana pagi terlihat lebih hening, hanya terdengar suara langkah orang yang berjalan. Tak ada musik atau suara bersahut-sahutan.
Jika berkeliling di sekitar sini, paling asyik adalah jalan-jalan nggak jelas mengelilingi satu area, dan sebenarnya tak terlalu sulit dijalani karena hampir semua jalan-jalannya berpadu dengan sistem grid, sehingga orientasi timur barat cukup mudah dikenali. Jalan-jalan yang tidak terlalu besar ramai dengan orang bersepeda atau berjalan kaki yang mereka akan mengantri dengan tertib jika hendak menyeberang di lampu lalu lintas. Bunyi tut tut tut jamak terdengar di setiap zebra cross yang hendak dilalui. Jika tak ingin lewat bawah, bisa melintasi jembatan penyeberangan yang bersilangan di bawah jalan layang. Keselamatan masing-masing orang benar-benar dijaga di sini. Melintasi kota-kota, gedung National Bunraku Theater, pasar buah-buahan, toko elektronik, pos polisi, orang berjalan, menemukan mobil jemputan sekolah, dan mal Big Camera yang harganya bikin ngiler, banyak sekali yang bisa dilihat dalam satu waktu. Dan sepertinya, amat menyenangkan menggunakan sepeda.
perjalanan 05.09.2014 osaka. special thanks to Windu Sari.
ditulis di depok 04.04.2016 00:30 WIB
tentang jepang :
kansai international airport, gerbang masuk jepang dari tengah laut
menyepi di engyoji himeji
himeji museum of literature, bahasa arsitektur tadao ando
aku pengen jadi ninja kak! lihai main samurai, bisa lompat-lompat di atap, tinggal di istana osaka, temenan sama oshin haha | *malah ngayal geje*
BTW mbak in, boleh kasi masukan untuk blog? cerita2mu tu cakep, ngajak pembaca jalan2 virtual,tapi font nya kayanya kekecilan, aku bacanya sambil zoom in layar monitor haha (apa karena faktor U ku saja ya?) jadi kalau dibesarin dikit akan tsakep! 😀
aahh, aku mau naik kapal-kapalan di parit, hahay.
fontnya kecil ya? itu default dari themes gretisyen, nanti kalau ulang tahun blog aku ganti sekallian dehh.. 🙂
suka kak gamabr miniatur perang kakak, waktu aku ambilnya malah gelap
keren banget itu, aku malah nyari2 panglima perangnya yang mana di antara ribuan boneka itu..
Tradisional, modern dan hura hura…. tiga-tiganya rasanya sayang untuk dilewatkan saat kesana. Jadi iri hihih
ayoo, kamu pasti bisa sampai di sana!!!
Ah, Osaka.. Jepang.. Kota impian, negeri idaman.. Miniatur perangnya menarik, mbak. Selalu suka melihat pemandangan dari ketinggian, karena dari titik itu kita bisa melihat pemandangan kota ke segala arah 🙂
Saat nanti ke Osaka, Dotonbori adalah salah satu tujuan wajib. Nggak ke ferris wheel, mbak?
Suasana lalu lintas berlapis itu mengingatkanku dengan Bangkok. Di atas ada BTS yang melayang hingga dua level, di atas tanah jalan raya, dan di bawah tanah ada MRT.
nggak sempat, Nug. rencananya pas balik dari keliling lalala, tapi ternyata aku kecapean jadi nggak sempet ke ferris wheel atau pun Umeda. kayaknya juga mau ke osaka lagi ah..
Waktu ke jepang taun lalu cuma ke tokyo aja 😦
mungkin taun ini harus pergi lagi ke jepang dan mengunjungi osaka 😀
kayaknya setiap kota punya keunikannya sendiri-sendiri deh.. pasti kepengin macam-macam.. 🙂
Cakep2 fotonya, Mbaaak. Pas ke Osaka aku pakai tiket harian yg bisa buat transport dan masuk banyak museum/atraksi. Hemaaat banget. Hehe..
wah, aku cuma setengah harian di sini. rencana baliknya dari barat mau eksplor lagi, tapi sudah lelaah. jadi langsung bandara.
Katanya di Osaka Castle, kita bisa minta cap di passport gitu ya Mbak? Bener ngga Mbak?
Btw, itu bis nipponbashi nya lucu sekali. Duh, jadi pengen ke Jepang.
kalau cap, banyak skali bisa minta di mana-mana, di macam2 museum. bisa dilihat di https://tindaktandukarsitek.com/2015/08/04/stempel-di-jepang-pengingat-perjalanan/
tapi kalau untuk di paspor sih ndak tahu ya, nanti mengganggu dokumen keimigrasian nggak?
Keren ya istana dan museumnya, alat peraganya juga sepertinya begitu detail. Saya merasa ada harmoni ya dia antara jejak masa tradisional dan modern, yang berdampingan dan memiliki daya tarik masing-masing.
Ngomong-ngomong, saya pertama tahu Osaka selain dari stadionnya yang pernah dipakai Piala Dunia 2002, juga dari karakter Heiji Hattori, detektif SMA temannya Conan Edogawa/Shinici Kudo hehehe 😀
museum-museum di sana memang menyenangkan sekali, serasa kembali ke masa lalu dan mengalami masanya. haa, Conan! I love him too..
[…] jepang : kansai international airport, gerbang masuk jepang dari tengah laut osaka : tradisional, modern, dan hura-hura menyepi di engyoji […]
[…] jepang : osaka : tradisional, modern, dan hura-hura menyepi di engyoji himeji himeji museum of literature, bahasa arsitektur tadao […]
[…] jepang : kansai international airport, gerbang masuk jepang dari tengah laut osaka : tradisional, modern, dan hura-hura himeji museum of literature, bahasa arsitektur tadao […]
[…] jepang : kansai international airport, gerbang masuk jepang dari tengah laut osaka : tradisional, modern, dan hura-hura menyepi di engyoji himeji himeji museum of literature, bahasa arsitektur tadao […]
Indahnya, walaupun cuman baca dan ngelihat potonya udah puas deh serasa menikmati keindahannya secara langsung.
terimakasih sudah berkunjung..