menghimpun biru togean

dedicated to Vindhya Birahmatika Sabnani, angel of the sea.

Kapal motor kayu berisi sekitar 15 orang itu meninggalkan pantai Ampana sesudah kami semua makan siang dengan seafood. Kulirik jam tanganku yang menunjukkan pukul dua siang, langit biru cerah dan matahari terik yang membuat udara menjadi agak hangat berpadu dengan deburan air laut biru yang pecah oleh lunas kapal yang melaju. “Kira-kira sampai ujung itu, sinyal bakal hilang,” pesan Vindhya sambil menunjuk daratan ujung teluk yang ada di sebelah kiri. Aku langsung menghubungi beberapa orang untuk mengabarkan bahwa aku tidak bisa dapat sinyal hingga tiga hari ke depan, supaya mereka tidak mencari.

Perjalanan ke Togean ini mendadak kurencanakan karena bosan dengan hujan yang terus menerus selama beberapa bulan di Jakarta, dan membuat langit selalu tampak kelabu. “Aku kangen langit biru,” begitu kataku pada Vindhya dari ibupenyu yang mengantar kami menjelajah Kepulauan Togean. Masih banyak orang yang tidak pernah mendengar di mana lokasi Togean apabila disebut namanya, karena itu aku penasaran untuk berkunjung ke lokasi yang kulihat dominan biru laut dari foto-foto di internet. Pertama kali mendengarnya hanya dari teman yang tinggal di Palu, tapi sudah cukup untuk membuatku jatuh cinta dari biru. Apalagi belum banyak orang ke sini, pasti masih sepi, pikirku.

Satu hari sebelumnya, aku tiba di Palu dengan pesawat komersial bersama Vindhya, Wina, dan Cipto, dan baru keesokan harinya terbang lagi ke Ampana dengan pesawat kecil Wings Air setelah bertemu dengan Putri dan Justin serta pasangan Nungky dan Satrio. Dari situ barulah kami ke tepi laut untuk naik kapal yang akan membawa kami ke Kepulauan Togean. Sebenarnya, dari Palu ke Ampana bisa ditempuh dengan jalan darat, hanya saja membutuhkan waktu delapan jam, sementara pesawat hanya 45 menit saja.

Perjalanan dari Ampana hingga teluk Bomba berlangsung selama dua jam. Udara cerah dan laut teduh membuat kami tidak was-was selama berada dalam kapal. Obrolan demi obrolan mulai mengalir di antara kami yang menggunakan kapal yang sama dengan penumpang yang lain yang hendak menuju desa-desa di kepulauan Togean. Seperti biasa, aku selalu suka duduk di bagian depan kapal sambil membaui aroma laut yang segar, tanpa takut dengan matahari yang membakar kulit.

Di kiri dan kanan bertebaran pulau-pulau kecil yang tidak tampak di peta. Dari yang tadinya hanya titik-titik saja, kemudian semakin dekat mulailah tampak pulau-pulau karang seumpama baru yang mengambang di atas air. Gerumbul hijau tampak sedikit-sedikit di atas batu, menandakan adanya kehidupan organik di situ, habitat tumbuhan dan hewan yang mengandalkan batu sebagai tempat tinggal. Serpihan awan di udara menjadi latar yang indah dari hamparan lautan di sekeliling.

Poyalisa

Sekitar jam empat sore kapal merapat di satu dermaga yang sedang dibangun dari kayu. Ternyata di situlah Poyalisa, tempat kami menginap dalam dua hari ke depan. Poyalisa cottage, yang berada di atas pulau panjang dengan lebar sekitar 7 meter, dikelilingi oleh air laut lepas ke Teluk Tomini, dan perairan tenang yang menghadap Pulau Bomba yang ditinggali oleh penduduk. Vindhya bercerita, “Nanti makan malam dimasak di desa Bomba, pas jam makan malam akan dibawa ke sini. Kalau ada yang butuh ke desa, bisa ikut naik kapal kecil ke seberang, nanti balik lagi pas makan malam.”

Tadinya masih berpikir untuk membeli beberapa cemilan di Bomba, tapi niat itu kami urungkan dan memilih untuk menunggu matahari terbenam. Cottage kami berderet di atas tebing-tebing batu, terbuat dari kayu dengan finishing natural, dilengkapi kamar mandi dan teras ber-hammock ke arah barat. Bola matahari masih berada di seperempat langit, bersiap untuk tenggelam di luar sana. Aku malah memilih untuk berayun-ayun di hammock sambil menikmati angin laut.

Cottage yang kutempati bersama Justin cukup lega, dengan satu tempat tidur di tengah komplit dengan kelambu, yang sebenarnya cocok untuk pengantin baru. Meja rias di salah satu sudut, dan meja tulis di sudut lainnya. Pengudaraannya nyaman dengan dua jendela dan kisi-kisi di atas tempat laluan angin. Teras kecil di depan yang menghadap laut lepas, berlangkan kayu sekeliling sebagai pengaman. Melihat ke samping, bisa melambaikan tangan pada penghuni cottage sebelah yang terpisah sekitar lima meter.

Senja turun cepat sekali.
Sepertinya baru saja kami memandangi laut yang bersemburat jingga, ketika bola merah tersebut menghilang di balik awan yang memenuhi cakrawala. Langit dipenuhi war beberapa hal na kemerahan, yang kemudian berubah menjadi lembayung. Lamat-lamat tinggal biru pekat saat matahari benar-benar tenggelam, dan tinggal saatnya menunggu panggilan makan malam.

Setiap kali perjalanan, berkenalan dengan orang-orang baru, selalu memberikan kebahagiaan tersendiri di hati. Kami yang beberapa jam sebelumnya baru saling bertemu, sudah larut dalam canda tawa, apalagi menemukan hal-hal menarik di luar kebiasaan. Seperti umumnya penginapan yang banyak dikunjungi orang bule, di sini kami menemukan aneka majalah dan buku dalam berbagai bahasa, dan paling asyik adalah tebak-tebakan dari aksara yang ada, dari negara manakah buku itu berasal? Hal paling menarik malam itu usai makan malam adalah kami membaca satu majalah dari Belanda yang menyatakan adanya shio kucing. Nah, karena sepengetahuan selama ini shio kucing itu tidak ada, maka penasaranlah kami mencari informasi tentang itu. Tapi rupanya karena sama sekali tak ada sinyal di sini, maka kekepoan kami tak berlanjut. Aku juga menemukan satu buku berbahasa Finlandia, dan satu buku lagi yang aksaranya tak kunjung kami kenali. Akhirnya setelah membolak balik menelusuri tulisan latinnya, baru ketahuan aksara yang seperti batang itu adalah bahasa Hebrew dari Israel. Wihh, mungkin karena lega, maka kami memutuskan untuk kembali ke cottage masing-masing dan tidur. Besok masih banyak kegiatan menarik, sih.

Tapi ada yang menarik sembari kembali ke cottage. Ternyata pasir pantai yang kami mengeluarkan titik-titik cahaya! Jadi ada plankton yang hidup di antara pasir yang apabila tak sengaja menginjak, akan pecah dan bercahaya. Mungkin seperti kunang-kunang dalam bentuk kecil sekali. Dan tidak bisa difoto karena gelap sekali. Ah, biarlah kenangan ini hanya ditangkap mata.

Island hopping

Poyalisa terdiri dari dua pulau kecil yang menyatu apabila laut surut. Jika laut pasang, area cottage dan area tempat makan dan pengelola akan terpisah oleh air laut setinggi dengkul. Di pagi hari ketika kami bersiap-siap melaut lagi, kami menunggu di seberang hingga laut surut dan kami bisa ke pulau sebelah untuk sarapan. Sementara itu, banyak spot-spot menarik di pulau cottage yang bisa ditelusuri sambil memotret. Berjalan tanpa alas kaki adalah kemewahan tersendiri sambil merasakan deburan air laut menyelisib di antara jemari kaki.

Usai sarapan, kami menggunakan dua kapal kecil yang berkapasitas masing-masing enam orang keluar teluk Bomba. Hari itu rencananya snorkeling di beberapa titik. Berbeda dengan kapal penumpang kemarin, kapal kecil ini cukup berasa goyangannya ketika keluar dari teluk. Arus air mempermainkan kapal ini naik turun. Namun meskipun demikian, rasanya tidak gentar menghadapinya karena memang itu jalan yang harus dilalui. Selain itu, laut biru dan pemandangan di samping menyita perhatian hingga akhirnya tiba di dangkalan yang penuh dengan terumbu karang.

Sayangnya, sebagian terumbu ini terkena bleaching akibat badai beberapa waktu yang lalu sehingga warna warninya agak kurang maksimal. Meskipun demikian, aku dan Nungky tetap kekeuh berenang ke sana kemari sambil melihat pemandangan bawah air yang menakjubkan. Ratusan ikan warna-warni berkeliaran seolah mempertunjukkan habitatnya tinggal. Arus bawah memang agak kuat, sehingga aku agak berasa kepayahan untuk berenang berkeliling. Tapi karena lokasinya asyik, jadi tetap saja aku mengapung-apung di sana hingga tiba saatnya dipanggil oleh kapten kapal untuk berpindah ke pulau lain.

Kami melahap makan siang dengan gembira sesudah kelelahan berenang di satu pantai sepi yang berpasir putih. Masing-masing dari kami juga menggelar kain pantainya untuk tidur-tiduran malas di atas pasir. Hmm, rasanya liburan ini membahagiakan banget. Sampai-sampai aku sempat baca buku yang tertunda bacanya. Benar kata Vindhya, siapkan bacaan yang banyak, mumpung nggak ada sinyal dan bakal bisa menamatkannya. Untung saja, karena berhasil melahap bacaanku The Girl Who Saved the King of Sweden dari Jonas Jonasson yang asyik dan bikin ketawa garing. Apalagi kami di sini tiap hari makan ikan, paduan yang menarik untuk mencerdaskan otak, ya (lalu kemudian lapor Bu Susi).

Perjalanan berlanjut ke Pulau Taupan, sebuah perkampungan suku Bajo yang berada di tengah laut. Uniknya, di sini terdapat danau air tawar yang didiami oleh udang merah. Setelah melihat dari dermaga, kami ditawari untuk berkano sambil berkeliling danau. Awalnya sih agak gentar, tapi rupanya kalau tidak banyak bergerak, kano tersebut tidak membahayakan, sehingga aku berani mencobanya bersama Putri. Hiya, soalnya dasar danau itu tidak terlihat lagi ketika sampai di tengah, hanya gelap semata. Bergantianlah Cipto dan Wina, aku dan Putri, serta Vindhya bersama Nungky terakhir.

Kampung ini sendiri berbentuk linier di sepanjang tepian airnya. Beberapa perempuan beraktivitas di dalam rumah, sementara anak-anaknya memandang kami dengan muka ingin tahu. Dermaga-dermaga menjorok ke laut, tempat nelayan menambatkan kapal sebagai kendaraan penunjang mata pencaharian ini. Kami terus berjalan menyusur hingga ujung pulau, di mana terdapat keramba untuk beternak lobster. Segera saja kami jatuh cinta pada udang besar seukuran lengan itu yang cangkangnya berwarna hijau dan jingga.

Tak kenal lelah usai meninggalkan pulau Taupan, ketika matahari sudah agak tergelincir lagi ke barat, kami pun menceburkan diri lagi ke air laut yang asin. Putri, Nungky dan Wina sepertinya masih sanggup untuk melayangkan tubuhnya di laut selama beberapa saat lagi. Duh, memang tubir-tubir laut itu memikat hati sekali dengan banyaknya ikan yang berjalan-jalan. Mungkin jika kami bisa mendengar bagaimana ikan tersebut berkata, mereka akan mengeluh kenapa sih manusia-manusia ini gemar bermain-main di sini, bukannya di darat sebagaimana mereka seharusnya hidup. Hee, mungkin karena manusia-manusia ini hobi nonton Spongebob.

Sebelum kembali ke Poyalisa, kami mampir ke kampung Bomba untuk membeli aneka makanan kecil. Iya, di pulau terpencil itu kadang-kadang lapar menyerang di tengah malam sehingga butuh asupan energi pengganjal lapar, kan? Serunya, di sinilah pertama kali aku menemukan anak-anak desa yang bermain sepak takraw! Selama ini hanya melihat permainan ini di televisi sebagai cabang olahraga yang dipertandingkan, baru kali ini benar-benar melihatnya sebagai satu permainan rakyat yang dimainkan dengan riang gembira oleh pemuda-pemuda Pulau Bomba. Lucu rasanya melihat bola rotan itu melambung ke sana kemari dari kaki-kaki dan melewati net sederhana dengan ditimpali sorakan-sorakan riuh dari samping.

Sembari mencemil makanan ringan, kami juga makan binte, makanan khas Sulawesi yang terbuat dari bulir-bulir jagung dengan kuah kental rasa ikan. Sedap sekali ketika kuahnya menggelenyar lewat tenggorokan menghangatkan badan kami yang usai diterpa angin laut seharian. Juga cake pisang yang lezat dan mengenyangkan yang dijual oleh anak-anak pulau Bomba. Pokoknya, lupakan diet jika sedang traveling ke Sulawesi. Makanan hanya ada enak dan enak sekali!

Belum puas main airnya, ketika kembali ke Poyalisa kami malah menunggu senja sambil tidur-tiduran di pantai sambil membiarkan badan kami dihempas-hempas oleh ombak-ombak ringan. Duh, nggak capek-capek deh. Kapan lagi ketemu pantai terus-terusan gini nggak pakai bosan? Lalu aku pun membenamkan separuh kepalaku ke air, membiarkan pasir mengotori rambutku, memandang langit yang tak berawan dan senja yang perlahan-lahan turun.
Bersama hujan.

Terpaksalah makan malam yang rencananya di pinggir pantai balik lagi ke ruang makan. Lobster yang tadi sudah menjadi hidangan lezat untuk dinikmati bersama malam ini di tengah meja. Waah, aktivitas seharian plus cemilan sore hari rupanya tidak mengurangi kekalapan kami untuk melahap empat potong iklan dan dua lobster yang berteman dengan nasi putih hangat yang mengepul-epul. Ditambah dengan sambal dabu-dabu yang menggigit lidah, pas sekali isian perut ini sebelum beristirahat nanti.

Tapi rupanya kami tidak bisa beristirahat malam itu.
Hujan yang tadi rintik-rintik menjadi cukup besar dengan suaranya yang menampar-nampar atap di atas cottage kami. Deru angin bergemuruh terdengar di luar seperti akan mengangkat pondok kayu tempat kami berlindung tidur. Badan yang sudah lelah ini jadi harus berjaga untuk menghadapi segala kemungkinan. Suara air laut memecah tebing di bawah terdengar sangat jelas di telinga dengan irama yang kencang tak putus-putus selama beberapa jam. Air hujan mulai masuk secara miring dari lubang angin di atas dinding. Aku dan Justin bangun dan memindahkan tas dan barang-barang ke tempat yang aman. Dari dipan tempat berbaring, terlihat hammock yang sore tadi kami pakai berayun-ayun seperti terlempar ke udara berulang-ulang.

The storm is coming on this early morning birthday. When none of my friend know about where I am now. And all I can do is only praying.

Namun ketika akhirnya lelah tertidur dan terbangun di jam 5:30 pagi, masih terdengar suara-suara menderu di luar. Wah,bisa-bisa kami terjebak di sini beberapa hari, nih, pikirku mengingat beberapa kejadian serupa di pulau-pulau lain sebelumnya. Eh, tapi ternyata ketika aku membuka pintu dan mengintip ke luar, langit sudah cerah kembali. Rupanya suara tadi hanyalah hantaman ombak pada tebing seperti yang tadi malam kudengar. Langit masih berawan pekat, pertanda badai belum tentu berlalu.

Usai packing, kami ke ruang makan untuk sarapan, bertukar cerita pengalaman semalam. Ternyata kamar Nungky dan Iyo basah separuhnya, sampai-sampai mereka harus mojok supaya tidurnya nyaman. Yang lain pengalamannya sama denganku, didera takut karena deru angin. Vindhya mengabarkan kalau perahu yang akan kami gunakan hari ini harus menunggu penglihatan cuaca. Jika laut dirasa teduh, kami akan berlayar. Jika tidak, terpaksa menunggu di sini.
Akhirnya sesudah menunggu hampir dua jam Vindhya mengajak kami untuk siap-siap karena kapal bisa melaut. Kami menggunakan kapal yang lebih besar dari kemarin, memasukkan semua barang-barang ke dalamnya, dan melaju kembali. Ombak masih terasa mengayun, namun nahkoda kapal begitu piawai mengemudikan kapal. Ketika laut lebih tenang, satu-satu dari kami pun tertidur, mungkin karena lelah semalam kurang tidur.

Kadidiri Paradise

Dua jam kemudian, kami bertemu dengan dermaga panjang Kadidiri Paradise, tapi tidak diizinkan merapat. Una, pengelola resort ini menyuruh nahkoda untuk melabuhkan kapal di dermaga belakang karena di depan ini banyak terumbu karang yang sedang dijaga pertumbuhannya. Kapal berputar dan merapat di belakang pulau, dan kami satu per satu turun ke daratan.

Ternyata Kadidiri Paradise ini indah sekali. Belasan bangunan kayu berdiri di tepi pantai dan menjadi tempat menginap kami malam ini. Nungky dan Iyo saja langsung memutuskan untuk extend karena melihat keelokan tempat ini. Usai meletakkan barang-barang dalam kamar, kami langsung makan siang dengan ikan sambal dabu-dabu yang lezat. Rasanya hidup di sini cuma berenang, makan, berenang, makan saja, ya. Ruang makan cukup besar dengan bangku-bangku kayu yang ditata untuk tamu. Hanya dengan tiang-tiang dan langkan kayu sekeliling, udara segar langsung masuk dari tepi-tepi pantai sehingga tak dibutuhkan pengudaraan buatan. Banyak juga buku-buku di sudut ruangan yang menggoda untuk dibaca sembari menunggu, apabila waktu lebih lama.

Tak membuang waktu, kami langsung berangkat lagi ke danau Mariona untuk berenang dengan ubur-ubur yang tak menyengat. “Jangan pakai sunblock di sana, yaaa,” pesan Vindhya. Iya dong, sunblock itu akan menjadi lemak dalam air yang merusak keseimbangan ekosistem di sana. Ubur-uburnya bisa mati nanti. Tak lama naik kapal lagi, kami bertemu dermaga yang rusak sebagai jalan satu-satunya menuju pulau tempat danau ini berada.

“Di sini ada ikan barracuda 2 ekor,” kata bapak guide yang menjelaskan sebelum kami turun. Hah? Seberapa cepat ya kemampuan berenangku sampai kalau ikan langsing panjang itu menyerang? Akhirnya kami putuskan untuk cuek sajalah. Mulanya hanya kelihatan biasa saja, air danau yang menghijau dikelilingi pepohonan. Tapi ketika mulai mencemplungkan badan lengkap dengan snorkel, hewan berdiameter sekitar 10 cm ini mulai tampak mengelilingi kami. Badannya yang transparan melayang-layang seperti hantu mungil, bergerak di perairan yang tadi terlihat pekat. Tiba-tiba aku teringat film Spongebob dan Patrick yang hobi menghabiskan sore dengan mengejar-ngejar ubur-ubur dengan jaring. Tentu saja kami tidak begitu, karena kami hanya berenang-renang di sekitarnya, tanpa menyentuhnya juga.

Selain ubur-ubur warna transparan juga ada yang berwarna oranye dengan kaki yang menjulur-julur. Sayangnya jumlah ubur-ubur oranye ini jauh lebih sedikit sehingga untuk memotretnya perlu dikejar-kejar. Wina, salah satu yang paling jago berenang di antara kami banyak memotret ubur-ubur ini dengan kamera underwater-nya.

Sebelum keriput kedinginan di dalam danau, kami berpindah lagi ke Pantai Karina, yang berpasir putih dan panjang, serta punya banyak terumbu karang cantik di depannya. Kali ini, Iyo dan Cipto yang biasanya malas berenang pun turun bermain-main di air. Ajaib, ternyata pantai Karina yang cantik ini sangat memesona ya.

Sebagian dari kami bermain di pantai, sebagian membasahi badan di air yang dangkal, sebagian lagi snorkeling di terumbu-terumbu karang yang menjorok ke laut. Cipto bahkan membuat beberapa video di pantai ini. Rasanya nggak ada yang mau melewatkan sore terakhir di Togean dengan sia-sia. Semua gembira baik kering maupun basah, tak peduli sinar matahari yang panas, menikmati birunya laut yang merayu.

Menjelang senja, kami kembali ke Kadidiri Paradise melalui beberapa kampung Bajo yang cantik di tepi-tepi pulau. Laut yang bening pun membuat jatuh cinta, karena terumbu karangnya bisa dilihat dengan mudah dengan mata telanjang dari tepi kapal. Kami berlarian turun dari kapal hingga dermaga panjang depan Kadidiri Paradise, untuk melihat senja.

Dan sore itu, senja yang bak sapuan kuas melukis langit dengan paduan jingga lembayung, adalah hadiah ulang tahun terindah.

Last Day

Keesokan harinya, rasanya tak ada yang ingin dilakukan selain leyeh-leyeh manja di pantai yang berpasir putih. Hammock yang menggantung di gazebo seolah memanggil-manggil sembari menghabiskan baca buku sampai tamat. Laut begitu biru dan bening tanpa ombak, sambil sesekali dilintasi kapal-kapal menuju pelabuhan. Damai sekali, sembari melupakan semua persoalan di luar sana.

Sayangnya, hari ini adalah hari terakhir kami berada di Togean. Setelah menghabiskan makan siang dengan ayam bumbu (wah, akhirnya kami makan ayam juga!) dan sayur terong, kami berkemas untuk naik speed boat ke Pelabuhan Wakai. Saking jatuh cintanya pada pulau ini, Nungky dan Iyo memutuskan untuk tinggal lebih lama lagi. Jadilah kami meninggalkan mereka untuk naik ferry berikutnya 2 hari lagi.

Tidak seperti jalur berangkat, kami naik ferry dari Pelabuhan Wakai ke Gorontalo, jadi tidak lewat Palu lagi. Sisa rombongan yang tinggal 6 orang ini tidak lupa membeli bekal makanan sebelum masuk ferry yang akan berlayar selama 8 jam itu. Hmm, aku membawa kepiting bumbu pedas yang enak sekali untuk makan malam nanti. Dan di kapallah kami menikmati matahari terbenam di hari terakhir kami di Teluk Tomini, sambil bersandar pada tepian kapal sebelum gelap menjelang. Salah satu kekayaan Indonesia hingga ke tepi-tepi negeri adalah senja yang luar biasa.

terima kasih untuk kenangannya Vindhya ibupenyu, kita tak berjalan bersama lagi. semoga kau tenang di atas sana, bermain dengan tukik-tukik yang disayang.

togean, 28 april-1 mei 2017.
ditulis di sentul, 4 juni 2017.

16 thoughts on “menghimpun biru togean

  1. Baru aja kemarin baca pengalaman Bobby ke sini, hari ini baca di sini. RACUN kalian sukseeeees 🙂

    Suka banget sama warna biru langit dan lautnya. Bener-bener “surga”

  2. RIP utk Vindhya ya mbak, nggak nyangka umur manusia begitu misteri padahal udah memendam hasrat kapan2 mau ikut trip @ibupenyu ke laut. Laut Togean ini biru jernih sehingga kelihatan jelas flora dan fauna yang ada di dalam laut. Cottagenya juga damai banget tempatnya

  3. looks like you really had fun there 😀

    wow, kadidiri paradise tampak masih sama dengan tahun 2010! gua masih ingat lezatnya makanan di sana.. haha.. tapi kalo lokasinya gue lebih suka tetangganya, black marlin..

    hm.. poyalisa terlihat asik banget buat leyeh-leyeehhh

    1. masa memang sama gitu ya? berarti gak ada perubahan dong. kayaknya semua foto togean emang ada kadidiri-nya ya? eh, gue sih lebih suka kadidiri karena depannya laut biruu banget langsung. black marlin terlalu menjorok.

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.